Pernah suatu ketika Sayyidah Rabi’ah al-Adawiyah menangis hingga kedua matanya membengkak. Bahkan, air matanya tak bisa keluar lagi karena saking lamanya beliau menangis.
Hingga kemudian datanglah seorang perempuan ke hadapannya. “Wahai Rabi’ah, apa yang telah membuatmu menangis sampai seperti ini?” Tanya perempuan tersebut sambil duduk di samping Rabi’ah. Dengan suara yang agak parau Rabi’ah berkata.” Aku sedih karena teringat dengan bagaimana keadaanku nantinya saat sakaratul maut? Bagaimana jika nanti ketika aku mati hatiku tidak menetapi Islam? Dan bagaimana bila dalam keadaan maksiat aku di panggil oleh Allah?
Hingga kemudian datanglah seorang perempuan ke hadapannya. “Wahai Rabi’ah, apa yang telah membuatmu menangis sampai seperti ini?” Tanya perempuan tersebut sambil duduk di samping Rabi’ah. Dengan suara yang agak parau Rabi’ah berkata.” Aku sedih karena teringat dengan bagaimana keadaanku nantinya saat sakaratul maut? Bagaimana jika nanti ketika aku mati hatiku tidak menetapi Islam? Dan bagaimana bila dalam keadaan maksiat aku di panggil oleh Allah?
Subhanallah, Sayyidah Rabi’ah al-Adawiyah, seorang perempuan bergelar waliyullah yang setiap malam istiqamah melakukan salat Tahajud tidak kurang dari seribu rakaat, dalam hatinya masih mempunyai rasa khawatir dengan keadaan menjelang akhir hayatnya. Dia sangat takut bila detik-detik akhir hidupnya, tiba-tiba hatinya berubah menjadi kufur dan mengingkari keesaan Allah. Lalu, bagaimana dengan kita, manusia biasa yang dalam masalah ibadah masih sangat jauh dari kata baik. Apakah pernah dalam hati kita terlintas rasa khawatir itu. Hanya diri kita masing-masing yang dapat menjawabnya.
Kematian adalah sesuatu yang masih dan akan selalu menjadi misteri. Ia bisa datang kapan dan di mana saja. Tak ada seorang pun yang bisa memprediksi kapan jatah umurnya akan habis. Sebelum kematian itu datang, terdapat satu proses yang di namakan sakaratul maut. Proses di cabutnya ruh dari dalam diri manusia oleh malaikat Izrail. Momen inilah yang menjadi momok menakutkan bagi semua orang. Pun bagi ulama-ulama ahli ibadah, karena zuhud dan kesalihan seseorang tidak bisa menjamin bahwa matinya nanti dalam keadaan khusnul khatimah. Mereka takut saat sakaratul maut datang, tiba-tiba dalam hatinya terbesit rasa ragu-ragu atau tidak percaya akan keesaan Allah. Dan bila hal itu terjadi, maka secara otomatis nyawanya akan tercabut dalam keadaan tidak beriman (su’ul khatimah). Beruntunglah bagi orang-orang yang di saat sakaratul maut masih di beri kekuatan oleh Allah bisa mengucapkan kalimat “laailahaillallah” dan hatinya senantiasa berhiaskan iman.
Su’ul khatimah mempunyai dua tingkatan. Masing-masing sama besar bahayanya. Yang pertama dan yang paling berbahya adalah di saat sakaratul maut, hati seseorang di datangi rasa keragu-raguan atau ketidak percayaan sama sekali pada Allah. Maka kekufuran itulah yang akan menjadi tabir antara dia dengan Allah selama-lamanya. Dan adzab yang kekal abadi telah menantinya di neraka Jahanam. Tingkatan kedua adalah hatinya di kuasai oleh rasa cinta pada masalah dunia yang tidak ada hubunganya sama sekali dengan akhirat. Atau saat sakaratul maut, masih ada satu keinginan duniawi yang belum tercapai dan selalu terbayang. Dengan begitu hatinya akan di penuhi dengan hal-hal duiniawi hingga tak ada tempat lagi bagi yang lain. Maka tak ada tempat pula bagi Allah di hatinya.
Sesuatu yang paling berpengaruh menyebabkan kematian seseorang menjadi khusnul khatimah adalah lemahnya iman. Serta hatinya sibuk dengan urusan duniawi. Dan kecintaanya pada dunia melebihi cintanya pada Allah. Namun kemungkinan besar yang bisa menyelamatkan dari kekhawatiran tersebut adalah keyakinan (i’tikad) yang kuat. Selama seseorang masih mempunyai keyakinan terhadap keesaan Allah, para rasul dan hari Kiamat dengan keyakinan yang tertancap kuat dalam hati. InsyaAllah, Allah akan mempermudah jalan menuju khusnul khatimah.
Oleh karenanya, tak seyogyanya kita hanya berpangku mengandalkan amal yang telah kita perbuat. Karena ia tak bisa kita jadikan sebagai jaminan. Marilah sejenak kita putar memori mengingat penggalan kisah wali Bal’am. Siapa yang tak mengenal kewalianya. Siapa pula yang mengingkari kesalihanya. Saat ia mengajarkan ilmu, tak kurang dari seribu santri yang mendengarkanya. Bila ia menatap ke atas, maka akan tembus sampai ke ‘arsy. Namun apa yang terjadi di penghujung hidupnya. Ia di gariskan mati dalam keadaansu’ul khatimah layaknya seekor anjing hanya karena tertipu kilau cahaya dunia. Na’udzubillahi min dzalik.
(majalah langitan)
Ketika Manusia Dihadapkan Pada Sakaratul Maut
4/
5
Oleh
Unknown