Rabu, 08 April 2015

Mencemaskan Rahasia Qadha Dan Qadar Ciri Orang Salih


*Oleh: KH. Abdullah Habib faqih
Orang yang di hatinya ada semangat mendekat kepada Allah akan selalu mencari jalan agar bisa sampai kepadaNya. Salah satu di antaranya ialah: memunculkan perasaan cemas di dalam hati. Setiap kali mampu beramal maka ia merasa bersyukur karena itu artinya Allah telah menghendakinya mendapat taufiq. Tapi, pada saat yang sama ia juga merasa cemas adakah taufiq Allah akan terus menyertainya? Adakah ibadah yang ia lakukan diterima dan sesuai dengan keinginan Allah SWT?
Orang yang di hatinya ada rasa cemas seperti ini akan merasa takut amalnya berubah menjadi hujah yang justru menjauhkannya dari ridha Allah SWT. Ia merasa takut bernasib seperti iblis yang kaya amal namun terpental dari rahmat Allah SWT, sehingga ia tidak memiliki kesempatan untuk takabur dan merasa telah berjasa kepada Allah dengan amalnya. Semakin kebaikannya bertambah, ia kian merasa dikepung hujah yang berat, kian merasa cemas dengan segala kemungkinan saat sakarat al-maut tiba. Ia akan semakin sopan kepada Allah, semakin menunduk dan sibuk mengendalikan lintasan hatinya sehingga perasaan ujub dan telah melakukan kebaikan benar-benar tertutup baginya.
Orang yang melakukan amal dengan benar ia pasti merasa cemas amalnya tidak diterima, merasa amalnya penuh dengan cela. Kalaupun ada yang diterima maka sesungguhnya itu murni anugerah Allah yang menuntut amal lain lagi, sebab amalnya sebenarnya tidak layak diterima. Ia tidak menganggap sedikitpun pada amalnya. Ia hanya melihat kebesaran Allah di hatinya. Lihatlah Al-Imam Zainal Abidin, salah seorang ahli bait yang mengerjakan salat seribu rakaat setiap malam. Juga Al-Imam Tsabit al-Banani, salah seorang pemuka tabi’in dan murid sahabat Anas bin Malik yang menghidupkan malamnya dengan tiga ratus rakaat. Demikian juga Al-Imam Hanafi selama empat puluh tahun mengerjakan salat Isya dan Subuh dengan satu wudhu. Mereka semua mengerjakan ibadah semalam suntuk. Tidak tidur sepanjang malam, kemudian pagi harinya mereka selalu menangis sambil berkata: Maha Suci Engkau, kami tidak menyembah-Mu dengan sesungguh-sungguhnya.
Orang-orang yang di hatinya ada semangat untuk dekat kepada Allah, ia akan gigih mengerjakan amal salih, lalu menjaga dan mengawalnya agar tidak ditolak Allah SWT. Selanjutnya ia merasa cemas kalau amalnya tidak diterima, bahkan mereka seribu kali lebih serius dan sibuk menyempurnakan syarat-syarat diterimanya dari pada sibuk mengerjakan amal ibadah itu sendiri.
Buah dari kecemasan adalah kegigihan dalam beramal, mencampakkan dirinya dan hanya bersandar kepada Allah, tidak tertipu oleh amal, kekuatan maupun usahanya. Sebaliknya ia selalu gelisah dan harap-harap cemas Allah berkenan menerimanya. Kecemasan dirinya bersama amal-amalnya membuahkan rasa semakin hina dihadapan Allah, semakin hancur dan gusar sanubarinya, semakin tertunduk hatinya, semakin tumpah air matanya. Inilah buah kecemasan, semakin rajin dan istiqamah melakukan ketaatan makan semakin tawadlu’ dan sopan kepada Allah. Jika melihat orang lain maka yang nampak di matanya kemuliaan orang tersebut dan kehinaan dirinya. Jika ia melihat orang lain yang sedikit amalnya, ia bersyukur kepada Allah yang telah menganugerahi kekuatan padanya. Ketika melihat orang lain tergelincir dalam dosa, ia merasa bahwa dirinya juga sangat mungkin melakukan hal sama andaikan Allah tidak memberinya hidayah. Dengan begitu ia akan semakin kokoh berjalan di atas kebaikan, karena melihat kebaikan itu bukan hasil jerih payahnya, tapi semata karena uluran taufiq Allah SWT.
Jikapun ia telah mampu melakukannya kelak di akhirat (karena amalnya tidak mampu menjadi harga keridhaan Allah) sehingga ia tidak tertipu dan membanggakan amalnya. Ia juga tidak melihat bahwa kegigihannya beramal berasal dari dirinya, sehingga yakin kalau ia tergolong orang yang salih dan pasti akan masuk surga. Ia juga tidak melihat bahwa dirinya selamat dari neraka, bebas dari kesalahan dan takkan matisu’ul khatimah, sehingga lupa kepada Allah dan merasa aman (tertipu) dengan kebesaran rahman-rahimnya Allah SWT.
Jika seseorang melakukan amal salih dengan benar, maka ia pasti merasa cemas amalnya tidak diterima, dan dalam saat yang sama ia tetap gigih untuk terus beramal. Jika amal salih didasarkan pada prinsip ini, maka ia akan menjadi cahaya bagi pemiliknya. Sebaliknya, jika tidak, maka amal tak ubahnya tindakan yang menjerumuskan pemiliknya ke jurang kemurkaan Allah. Sebagaimana iblis yang amalnya berlipat-lipat (dikisahkan bahwa setiap jengkal tanah di muka bumi ini sudah pernah menjadi tempat sujudnya) akhirnya terusir dan terjerumus ke jurang kesesatan.
Dari sini, kita dapat memetik hikmah agar tidak meremehkan amal, karena amal adalah jalan untuk sampai kepada Allah. Sekaligus juga tidak tertipu amal, karena amal tidak bisa menjadi harga untuk bisa sampai kepada Allah. Mari kita petik kalam hikmah Shultan al-auliya’ Syaikh Abdul Qadir al-Jailani yang mengatakan: “Engkau (amal) memang harus dikerjakan, namun bukan karena engkau aku sampai kepada Allah.” لَابُدَّ مِنْكِ, وَبِكِ لَانَصِلْ

Artikel Terkait

Mencemaskan Rahasia Qadha Dan Qadar Ciri Orang Salih
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email