Rabu, 20 Mei 2015

Merenungkan Isi Al-quran

merenungkan isi al-quran



Merenungkan makna al-Qur'an pada prinsipnya adalah dengan cara mentadabburi dan memikirkannya. Seorang yang bagus bacaannya adalah apabila hatinya telah melunak dengan kalam Rabbnya, konsentrasi dalam mendengarkan dan menghadirkan segenap hati terhadap makna-makna sifat dari Dzat yang berbicara kepadanya,
memperhatikan kekuasaan Nya, meninggalkan ketergantungan terhadap pengetahuan dan akalnya, melepas segala rasa keberdayaan dan kekuatan diri, mengagungkan Dzat yang berfirman kepadanya, merasa hina dengan kemampuan pemahaman nya. Dengan kondisi yang istiqamah dan hati yang bersih, dengan kekuatan ilmu, kesungguhan pendengaran untuk memahami firman-Nya, seakan-akan menyaksikan jawaban yang Ghaib. Juga dengan doa orang yang merendah diri, merasa banyak kekurangan dan merasa miskin, serta dengan menanti pertolongan dari Dzat yang Maha Menolong dan Maha Tahu, dan dengan memohon pertolongan kepada-Nya agar bacaannya membawa dirinya kepada pemahaman makna. Dia menghadirkan sifat dari Dzat yang berbicara , berupa janji-Nya dengan penuh kerinduan, ancaman-Nya dengan perasaan takut dan peringatan-Nya dengan kesungguhan.

Allah subhanahu wata'ala berfirman,
Orang-orang yang telah kami beri al-Kitab kepadanya, mereka membacanya dengan bacaan yang sebenarnya, mereka itu beriman kepadanya.(QS.al-Baqarah:121)

Dan orang inilah yang merupakan rasikh fil ilm atau mendalam ilmunya, semoga Allah subhanahu wata'ala menjadikan kita termasuk golongan orang seperti ini. Allah subhanahu wata'ala berfirman, artinya,
Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar).،¨ (QS. al-Ahzab: 4). (Al-Burhan, Az-Zarkasyi 2/197)

Selayaknya bagi orang yang membaca al-Qur'an untuk meresapi setiap ayat sesuai dengan konteksnya, serta berusaha memahaminya. Jika dia membaca ayat,artinya, Segala puji bagi Allah Yang telah menciptakan langit dan bumi.،¨(QS.al:An'am:1). Maka hendaknya dia menyadari betapa agungnya Allah subhanahu wata'ala, dan terlintas di benaknya kekuasaan Allah subhanahu wata'ala dan segala apa yang Dia kehendaki. Kemudian jika membaca ayat, artinya,
Maka terangkanlah kepadaku tentang nutfah yang kamu pancarkan.،¨ (QS. 56:58)

Maka hendaknya berfikir bagaimana nuthfah (air mani) dapat berubah menjadi bagian-bagian daging dan tulang. Dan jika membaca ayat tentang keadaan orang-orang yang diadzab hendaknya merasakan takut tertimpa, jika lalai dari mengerjakan perintah-perintah Allah.

Dan selayaknya seseorang yang membaca al-Qur'an mengetahui bahwa dirinya adalah yang sedang menjadi obyek sasaran dari pembicaraan al-Qur'an itu, dan dirinyalah yang mendapat ancaman. Dan kisah-kisah yang ada bukan sekedar membawakan cerita belaka, namun ia memberikan pelajaran. Maka ketika itu dia membaca al-Qur'an seperti membaca nya seorang budak, dan dirinya sedang menjadi sasaran dari tulisan tuannya. Maka hendaklah dia merenungkan al-Kitab dan mengamalkan apa yang menjadi tuntutannya. (MukhtasharMinhaj al-Qasidin, halaman 68)

Al-Imam al-Qurthubi rahimahullah berkata, "Merupakan kewajiban bagi siapa saja -yang dikhususkan oleh Allah dengan menghafal al-Qur'an- agar membaca dengan bacaan yang sebenarnya (haqqo tilawatih), mentadabburi dengan hakikat ibrah dan pelajarannya, memahami segela keistimewaannya dan mencari tahu apa yang asing baginya." (al-Jami' liahkam al-Qur'an 1/ 2)

Al-Hakim at-Tirmidzi rahimahullah berkata tentang kemuliaan al-Qur'an, "Hendaknya dibaca dengan tenang, pelan-pelan dan tartil, dan merupakan kemuliaan al-Qur'an hendaknya (dalam membaca) dengan mencurahkan ingatan dan segenap pemahaman sehingga dapat mencerna apa yang difirmankan itu. Termasuk memulia kan al-Qur'an juga hendaknya berhenti pada ayat-ayat janji (wa'd) dan berharap kepada Allah subhanahu wata'ala serta memohon keutamaan dari-Nya, berhenti pada ayat ancaman (wa'id) dan memohon perlindungan kepada Allah darinya." (al-Jami' liahkam al-Qur'an 1/27, dan dinisbatkan ke kitab Nawadir al-Ushul)

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, "Apabila membaca al-Qur'an dengan tafakkur sehingga tatkala melewati ayat yang dia (pembaca) butuh terhadap ayat itu untuk mengobati hatinya, maka hendaknya dia mengulang-ulang ayat itu meskipun seratus kali, bahkan meskipun semalam suntuk. Karena membaca satu ayat dengan tafakkur dan pemahaman, lebih baik daripada menghatamkan bacaan dengan tanpa tadabbur dan pemahaman. Dan juga lebih bermanfaat bagi hati, lebih dapat menghantarkan kepada tercapainya kesempurnaan iman serta rasa manisnya al-Qur'an.،¨ (Miftah Dar as-Sa'adah, hal 402)

Ibnu Muflih rahimahullah berkata, "Berkata al-Qadhi, "Kriteria minimal tartil adalah dengan meninggalkan ketergesaan dalam membaca al-Qur'an, dan yang sempurna adalah tartil di dalam membaca, merenungi ayat-ayat itu, memahaminya, serta mengambil pelajaran darinya meskipun sedikit di dalam membaca, dan ini lebih baik daripada terus membaca dengan tanpa pemahaman sama sekali.،¨

Sementara Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata, "Seseorang yang membaca al-Qur'an hendaknya memperbagus suaranya dan membacanya dengan rasa takut dan dengan tadabbur, dan ini merupakan makna dari sabda Nabi, "Tidak pernah Allah menyeru dengan sesuatu seperti menyerunya kepada Nabi agar membaguskan suara dan memperindah dalam membaca al-Qur'an dengan mengeraskannya." (HR. al-Bukhari no.5024, Muslim no. 297,233, an- Nasai, 2/180, Abu Dawud no.1473 dari hadits Abu Hurairah). (al-Adab asy- Syar'iyyah).

Imam as-Suyuthim rahimahullah menyifati wukuf (merenungi) makna-makna al-Qur'an dengan perkataannya, "Hendaknya hati sibuk memikirkan makna-makna ayat yang dilafazhkan, sehingga mengetahui masing masing ayat, lalu merenungkan perintah-perintah dan larangan-larangannya, serta berkeyakinan untuk menerima itu semua. Jika pada masa lalu ia termasuk orang yang tidak perhatian terhadap masalah itu, maka dia meminta ampun dan beristighfar, jika melewati ayat rahmat maka dia gembira dan memohonnya, atau melewati ayat adzab maka merasa takut dan meminta perlidungan, atau melewati ayat tentang penyucian atau tasbih kepada Allah subhanahu wata'ala, maka hendak nya menyucikan dan mengagungkan-Nya, atau melewati ayat yang berisikan doa, hendaknya merendah diri dan memintanya. (al-Itqan fi Ulum al-Qur'an 1/ 140)

Berkata al-Allamah as-Sa'di rahimahullah, "Dan selayaknya dalam masalah itu (membaca al-Qur'an) hendaknya menjadikan makna sebagai tujuan, sedangkan lafazh adalah sebagai sarana untuk memahami makna, maka hendaknya melihat kepada siyaqul kalam (arah pembicaraan) serta kepada siapa pembicaraan itu ditujukan, lalu mempertemukan antara yang dia baca itu dengan pendapatnya dalam tempat (ayat) yang lainnya. Dan hedaknya dia mengetahui bahwa al-Qur'an ditujukan untuk memberi petunjuk kepada manusia baik yang 'alim maupun yang bodoh, yang ada di kota maupun yang ada di pelosok. Barang siapa yang mendapatkan taufik untuk itu maka tidak ada yang tersisa pada dirinya kecuali akan memberikan perhatian untuk mentadabburi dan memahaminya, akan banyak memikirkan lafazh dan maknanya, kewajiban-kewajiban dan kandungan nya, serta petunjuknya baik yang diucapkan atau yang difahami. Jika seorang memang telah mencurahkan seluruh perhatian dalam masalah ini maka Allah subhanahu wata'ala akan memuliakan sebagian di antara hamba-Nya, dan Allah subhanahu wata'ala tentu akan membukakan ilmu-Nya berupa hal-hal yang tadinya tidak mampu dia usahakan. (Taisir al-Karim ar-Rahman, 12)

Oleh karena itu selayaknya keinginan atau motivasi terbesar orang shalih, adalah berapa banyak al-Qur'an memberikan pengaruh dalam sikap? Bukan sekedar berapa banyak menghatamkan al-Qur'an.

Sumber: kitab, ،¨Tadabbur al-Qur'an،¨ karya Salman bin Umar al-Sunaidy 


Source: http://www.hakiim.com/2015/05/merenungkan-isi-al-quran.html

Artikel Terkait

Merenungkan Isi Al-quran
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email